Your Pass Will Never Be Bigger Than Your Future


.

Your pass will never be bigger than your future,,

Woaaaa,,,saya seperti menemukan suatu mantra sakti sehabis membaca kalimat di atas. Sangat sesuai. Perfect. Tepat sekali kawan. Iya. Saya memang akan menulis sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu.

Saya dan dia pernah berselisih tentang sesuatu menyangkut masa lalunya. Sesuatu yang berhubungan dengan kapasitas memori harddisk. Hanya beberapa Kb sih, tapi itu sangat amat mengganggu. Saya yang orang baru dikehidupannya merasa bahwa ‘Apa untungnya menyimpan ‘sesuatu’ itu? Hapus saja. Itu tidak berguna, wong ya nggak bakal dibuka lagi (atau diam-diam masih suka dinikmati?). Bukannya dengan menghapusnya bakal memberi ruang tambahan bagi memori baru. Bukannya dia sudah sama saya. Kenapa kenapa kenapa? Kenapa ‘sesuatu’ itu masih saja disimpan. Saya marah. Saya menuntut penjelasan, kalau bukan disimpan dengan hati, berarti ada logika dibalik penyimpanannya. Dan pembenaran darinya keluar. Dia menyimpan karena ‘ini’ ‘itu’ dan blah blah blahh… Akhirnya saya kalah, bukan karena menerima penjelasannya, tetapi lebih kepada ‘bahwa saya malas bertengkar gara-gara hal yang--lama-lama-saat-saya-berpikir-- kok tidak penting.

Perselisihan ditutup dengan saya menangis dan menyerahkan semuanya kembali kepadanya. Terserah saja mau dihapus, disimpan, dibuka-buka lagi (asalkan saya tidak tau) atau aktivitas apapun, saya akan mencoba tidak peduli. Itu kata saya kepadanya. Padahal dalam hati, sungguh saya sangat terganggu dengan ‘sesuatu’ itu.

Menurut pendapat saya kok tidak penting sekali menyimpan ‘sesuatu’ seperti itu. ‘Sesuatu’ itu terlalu detail untuk disimpan. Saya membencinya.

Masa lalu dengan seseorang. Well, saya kok lebih suka mengingatnya sebagai suatu rangkaian mozaik yang blur. Tidak perlu diingat terlalu detail. Tidak perlu menyimpan ‘sesuatu’ yang terlalu detail.

‘Sesuatu’ itu bukan barang loh kawan. Makanya saya mencak-mencak.

Bukan hal yang biasa untuk disimpan. Makanya saya protes.

Cuman hal yang cukup dikenang saja. Makanya saya heran.

Perselisihan selesai, saya diam. Tapi kadang terusik untuk mengungkit. 8D

Kemudian tiba-tiba saja malam ini saya punya pemikiran lain.

I think that I can deal with it.

Saya menemukan pemahaman bahwa masa lalu itu ya masa lalu saja, masa lalu ada dan akan selalu ada, bagaimanapun masa lalulah pembentuk masa depan. Tanpanya saya tidak akan bertemu dia. Tanpanya mungkin akan beda cerita. Jadi hormati saja masa lalu, wong ya itu sudah berlalu.

Your pass will never be bigger than your future.

Seperti rangkaian kalimat dalam bukunya Ucu Agustin--Being Ing (tidak persis sih, seingat saya saja yak) :

Berjalan meninggalkan masa lalu itu seperti saat kita menghadap cermin kemudian berjalan mundur. Pertama kita akan menatap bayangan diri kita lengkap dan jelas. Namun saat langkah mundur kita semakin menjauhi cermin, bayangan kita akan semakin kabur 'blur' tidak jelas lagi, dan kemudian kita tidak lagi berjalan menjauhinya tetapi berjalan berbalik, dan dengan mantap melangkah ke depan.

It would just freeze at the corner of memory and silence. Jadi tidak perlu diusik. Biarkan saja. Tidak perlu curiga. Haha.